*Cerpen
untuk lomba Figur UMS dengan tema Goresan Cinta Penakluk Dunia.
Awan
Rindu Berselimut Kasih
Oleh: Margono
Saat
tangan ini menata kata-kata di atas kertas. Langit berhias bintang, rembulan
tersenyum mesra seakan ingin mendekapku. Aku duduk dalam kesunyian, dalam
bayang-bayang wajahmu. Kakakku tersayang, dalam belai lembut kasih ibu
tercinta, dan dalam rindu sendu untuk ayah. Kala membaca puisi karya Yosi Wulandari
dalam buku kumpilan puisi Sengketa Rasa. Puisi Rindu dari Rantau.
“Inikah negeri
elok bertatap hati
Nan jauh masih
menyibak rindu
Negeri berkata
adat bersastra
Banyak kata hendak
bertindak
Pemukau kaum
menjunjung budi
Minangkabau
Negeri cinta tanah
kelahiran
Di sana hati telah
kutitip sayang
Laskar yang
tercipta tak ditinggal
Nagari Minang elok
budaya
Badan nan di
rantau tak berpisah
Raga tak bersua
hati masih bertemu
Sebuah rindu dari
rantau
Untuk nagari
tercinta.”¹
Hembusan setiap kata menyentuh sukma
dalam raga. Sajak-sajak itu membangkitkan rindu dalam sendu. Jauh di pelupuk
mata dekat di ulu hati. Ini kata yang ku tata di depan layar monitor untuk
ayah, ibu dan kakak Abay.
“Ibuku
yang terkasih, dalam setiap sajudku aku berdoa, dalam setiap nafasku aku
haturkan pinta, Allah jaga keluaga hamba nun jauh di desa, heningnya malam ini.
Dinginya udara, terhapus oleh bayang-bayang keluarga, ibu, bapak dan kakak.
Raditya di sini dalam keadaan baik, bagaimana keadaan keluarga di desa? Dalam
takbir, rukuk dan sujudku butiran air mata yang menetes terkandung doa untuk
kesembuhan bapak.” Salam sayang dan bakti dari anakmu. Demikian surat dari anak
perantauan ditujukan pada keluarganya di desa. Jakarta 20 April 2013.”
Raditya lelaki belia yang tinggal
seorang diri di tanah rantau. Perantauan yang ia laksanakan bukti kasih dan
sayang kepada orang tuanya (Hartati dan Hartono). Ayahnya tengah menghadapi
ujian dari Illahi. Beberapa bulan terakhir Hartono sering keluar-masuk ruang operasi
rumah sakit. Kini ia tidak bisa menjauh dari kursi roda yang setia bersamanya
sejak ia jatuh sakit. Setiap kali Raditya memeluk rindu dalam kalbu. Ia
memandang bingkai foto keluarganya. Seraya menulis surat rindu dan mengirim
foto terbarunya.
***
Beberapa hari setelah surat yang ia
kirim dibuka kakaknya. Raditya mendapat balasan atas surat rindu yang ia kirim.
“Dalam rasa cinta, senyuman dan keharuan, yang kami cintai putraku Raditya Ananda. Surat darimu telah
kami terima. Syukur Alhamdulillah jika kau di sana dalam keadaan baik.
Ananda, bapakmu di sini dalam keadaan baik. Setelah mengalami operasi di rumah
sakit seminggu yang lalu. Kakakmu Eko telah membuka usaha warung makan
sederhana. Salam dari kakakmu mengharap hadirmu di sini. Jaga dirimu di tanah rantau,
Sembayang lima waktu jangan kau tingalkan. Doa ibu memohon Allah memberikan
lindungan kepadamu, salam kasih untuk Ananda.” Surat balasan Hartati menyejukan
dan menenangkan Raditya.
Raditya Ananda bekerja sebagai
karyawan di perusahaan otomotif sejak tiga tahun yang lalu. Setelah menamatkan
sekolah menengah kejuruan di Klaten. Upah dari kerja kerasnya, ia berikan untuk
pengobatan ayahnya. Sudah tiga tahun lamanya, Radit tidak bisa merasakan
nikmatnya secangkir teh buatan Hartati. Tuntutan kerja membuat tak mampu merasakan
dekap hangat keluarganya. Ayah yang ia cintai kini duduk di kursi roda. Meniti
kesembuhan berharap kembali seperti sedia kala. Keberimanan dan ketaqwaan yang
Hartono miliki membuat ia tegar menghadapi ujian dari Sang Kholiq.
***
“Kring, kring, kring” . Telepon
gengam milik Raditya berdering. Setelah ia menjawab telepon. Wajahnya menjadi
pucat, tangannya gemetar. Matanya terpaku memandang layar telepon lalu
mendengar suara ibunya “Cepatlah pulang, Nak. Ayahmu merindukanmu, mungkin ini
terakhir kalinya pinta ayahmu berharap hadirmu ada di sisinya”. Raditya segera
menghubungi penjual tiket pesawat jurusan Jakarta-Jogja. Tanpa pikir panjang ia
segera mengemasi barang-barangnya memasukan ke dalam koper.
Menungu taksi yang tak kunjung
datang. Wajahnya tampak cemas, berkali-kali ia menghubungi nomer telepon
ibunya, namun tak ada balasan. Kondisi seperti ini membuat ia semakin panik.
Tak berapa lama kemudian, taksi yang dipesanya telah datang. Segera ia bergegas
menuju bandara. Dalam taksi ia melamun, raganya ada di taksi, jiwanya telah
sampai di Jogja. Memikirkan keadaan ayahnya, yang menghadapi masa kritis. Jalan
menuju bandara padat merayap karena ada peringatan Hari Buruh. Sedang ia harus
sampai bandara dengan tepat waktu. Bayang-Bayang kematian berselimut di
pikirannya.
Tiga puluh menit lagi peswat akan
lepas landas. Raditya masih dalam perjalanan. Bersama dengan kepanikannya, Ia
berpikir bagaimana caranya sampai bandara tepat waktu. Pucuk di cinta ulam pun
tiba. Samping kanan jalan tampak barisan juru ojek motor, hingga akhirnya ia
memutuskan beralih pada kendaraan roda dua. Lima belas menit perjalanan telah
dilalui, tepat 20 menit dalam perjalanan. Ia sampai di bandara. Segera ia
menuju pesawat yang akan menghantarkannya ke Jogja.
Langit tampak cerah, dalam ketingian
di udara ia melihat kumpulan awan. Awan itu membentuk wajah ayahnya, mungkin
karena ia rindu sekali pada ayahnya. Sejenak ia melamun. Terpikir dalam
benaknya memori kenangan bersama ayah, ibu dan kakak. Awan yang indah itu
tampak bercahaya. Kenangan kasih cinta ibunya yang mencintai dari hati ke hati.
Tak seperti kekasih yang mencintai ia dari mata ke hati. Ikhlas mendekap
memberi perlindungan, ya begitu cara Hartono. Sekejap Raditya terbangun dari
melamunya. Pesawat telah mendarat di bandara Adi Sutjipto.
Berlari ia menuju pangkalan taksi.
Menumpang taksi untuk membawanya menuju rumah sakit tempat ayahnya di rawat.
Taksi itu berjalan melewati kota, kenangan indah bersama ayahnya mulai terusik
kembali. Malioboro, kebun binatang, menjadi tempat istimewa menghabiskan waktu.
Dua puluh lima menit perjalanan, taksi itu berhenti di depan lobi rumah sakit.
Raditya keluar dari taksi membawa tas. Berjalan menyusuri jalan rumah sakit
menuju ruang ICU tempat ayahnya
berbaring. Perjumpaan itu terjadi, keharuan dan sendu menghiasi ruangan. Peluk,
dekap, dari ibu dan kakaknya untuk Raditya.
Ia menangis menyaksikan ayahnya,
yang tak berdaya. Air wudhu membasuh angota tubuh. Mengambil Al-Qur’an di
tasnya. Membacakan Ayat-ayat suci di samping ayahnya. Berharap ayahnya segera
bangun dan memeluknya. Setelah membacakan ayat-ayat al-Qur’an, Ia membisikan
kalimat untuk ayahnya “Ayah, Raditya rindu. Ayah segera bangun, mengerjakan hal
yang terindah seperti masa yang dulu”. Ungkap Raditya. Hartono yang ia cintai
tak kunjung bangun, sudah beberapa hari anaknya berada di sampingnya.
Tabah, ya begitu adanya. Ananda
setia di samping ayahnya, Sholat lima waktu. Melantunkan tilawah Qur’an,
menjalankan tahajud. Semua itu yang diajarkan Hartono. Ayah dari Raditya di
rawat oleh dokter Lidya. Setiap pagi Raditya selalu berjumpa dengan dokter muda
bernama Lidya. Menanyakan perkembangan Ayahnya. Perjumpaan dengan dokter Lidya
tak terasa menumbuhkan benih-benih cinta. Benih cinta itu bersemi bagai
bunga-bunga di pekarangan. Dua minggu telah usai, dokter Lidya ternyata juga
menaruh hati pada Raditya karena sifat setia dan sholehnya.
Pagi itu suasana begitu bersahabat,
burung-burung bernyanyi riang. Mentari tersenyum indah. Ruang ICU merasakan kehangatan sinarnya. Tanda itu mulai
muncul. Kedipan mata itu menghadirkan anugrah, membuka harapan baru. Hartono
mulai terbangun dari tidurnya. Dokter Lidya segera memeriksa Hartono. Sujud syukur
Hartati, Abay dan aditya atas sadarnya Ayah tercinta. Bagai kebahagiaan yang bersambut.
Siang hari Raditya memberanikan diri mengungkapkan perasaan cinta kepada Lidya.
Akhirnya Lidya membalas dengan senyum manisnya. Keluarga itu berselimut kasih.
Biodata Penulis
Nama : Margono
NIM : A310130041 (semester 2)
Mahasiswa
Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
No HP :
085643364523
Alamat rumah :
Tegalombo 1/5 , Prawatan, Jogonalan, Klaten.