Senin, 30 Juni 2014

ayo daftar segera beasiswa dataprint di www.beasiswadataprint.com


Periode 1: 7 Februari  – 30 Juni
Periode 2: 1 Juli – 31 Desember

Rabu, 18 Juni 2014



*Cerpen untuk lomba Figur UMS dengan tema Goresan Cinta Penakluk Dunia.

Awan Rindu Berselimut Kasih
Oleh: Margono

            Saat tangan ini menata kata-kata di atas kertas. Langit berhias bintang, rembulan tersenyum mesra seakan ingin mendekapku. Aku duduk dalam kesunyian, dalam bayang-bayang wajahmu. Kakakku tersayang, dalam belai lembut kasih ibu tercinta, dan dalam rindu sendu untuk ayah. Kala membaca puisi karya Yosi Wulandari dalam buku kumpilan puisi Sengketa Rasa. Puisi Rindu dari Rantau.

           “Inikah negeri elok bertatap hati
            Nan jauh masih menyibak rindu
            Negeri berkata adat bersastra
            Banyak kata hendak bertindak
            Pemukau kaum menjunjung budi
            Minangkabau
            Negeri cinta tanah kelahiran
            Di sana hati telah kutitip sayang
            Laskar yang tercipta tak ditinggal
            Nagari Minang elok budaya
            Badan nan di rantau tak berpisah
            Raga tak bersua hati masih bertemu
            Sebuah rindu dari rantau  
            Untuk nagari tercinta.”¹
           
            Hembusan setiap kata menyentuh sukma dalam raga. Sajak-sajak itu membangkitkan rindu dalam sendu. Jauh di pelupuk mata dekat di ulu hati. Ini kata yang ku tata di depan layar monitor untuk ayah, ibu dan kakak Abay.
“Ibuku yang terkasih, dalam setiap sajudku aku berdoa, dalam setiap nafasku aku haturkan pinta, Allah jaga keluaga hamba nun jauh di desa, heningnya malam ini. Dinginya udara, terhapus oleh bayang-bayang keluarga, ibu, bapak dan kakak. Raditya di sini dalam keadaan baik, bagaimana keadaan keluarga di desa? Dalam takbir, rukuk dan sujudku butiran air mata yang menetes terkandung doa untuk kesembuhan bapak.” Salam sayang dan bakti dari anakmu. Demikian surat dari anak perantauan ditujukan pada keluarganya di desa. Jakarta 20 April 2013.”
            Raditya lelaki belia yang tinggal seorang diri di tanah rantau. Perantauan yang ia laksanakan bukti kasih dan sayang kepada orang tuanya (Hartati dan Hartono). Ayahnya tengah menghadapi ujian dari Illahi. Beberapa bulan terakhir Hartono sering keluar-masuk ruang operasi rumah sakit. Kini ia tidak bisa menjauh dari kursi roda yang setia bersamanya sejak ia jatuh sakit. Setiap kali Raditya memeluk rindu dalam kalbu. Ia memandang bingkai foto keluarganya. Seraya menulis surat rindu dan mengirim foto terbarunya.   
***

            Beberapa hari setelah surat yang ia kirim dibuka kakaknya. Raditya mendapat balasan atas surat rindu yang ia kirim. “Dalam rasa cinta, senyuman dan keharuan, yang kami cintai  putraku Raditya Ananda. Surat darimu telah kami terima. Syukur Alhamdulillah jika kau di sana dalam keadaan baik. Ananda, bapakmu di sini dalam keadaan baik. Setelah mengalami operasi di rumah sakit seminggu yang lalu. Kakakmu Eko telah membuka usaha warung makan sederhana. Salam dari kakakmu mengharap hadirmu di sini. Jaga dirimu di tanah rantau, Sembayang lima waktu jangan kau tingalkan. Doa ibu memohon Allah memberikan lindungan kepadamu, salam kasih untuk Ananda.” Surat balasan Hartati menyejukan dan menenangkan Raditya.
            Raditya Ananda bekerja sebagai karyawan di perusahaan otomotif sejak tiga tahun yang lalu. Setelah menamatkan sekolah menengah kejuruan di Klaten. Upah dari kerja kerasnya, ia berikan untuk pengobatan ayahnya. Sudah tiga tahun lamanya, Radit tidak bisa merasakan nikmatnya secangkir teh buatan Hartati. Tuntutan kerja membuat tak mampu merasakan dekap hangat keluarganya. Ayah yang ia cintai kini duduk di kursi roda. Meniti kesembuhan berharap kembali seperti sedia kala. Keberimanan dan ketaqwaan yang Hartono miliki membuat ia tegar menghadapi ujian dari Sang Kholiq.
***

            “Kring, kring, kring” . Telepon gengam milik Raditya berdering. Setelah ia menjawab telepon. Wajahnya menjadi pucat, tangannya gemetar. Matanya terpaku memandang layar telepon lalu mendengar suara ibunya “Cepatlah pulang, Nak. Ayahmu merindukanmu, mungkin ini terakhir kalinya pinta ayahmu berharap hadirmu ada di sisinya”. Raditya segera menghubungi penjual tiket pesawat jurusan Jakarta-Jogja. Tanpa pikir panjang ia segera mengemasi barang-barangnya memasukan ke dalam koper.
            Menungu taksi yang tak kunjung datang. Wajahnya tampak cemas, berkali-kali ia menghubungi nomer telepon ibunya, namun tak ada balasan. Kondisi seperti ini membuat ia semakin panik. Tak berapa lama kemudian, taksi yang dipesanya telah datang. Segera ia bergegas menuju bandara. Dalam taksi ia melamun, raganya ada di taksi, jiwanya telah sampai di Jogja. Memikirkan keadaan ayahnya, yang menghadapi masa kritis. Jalan menuju bandara padat merayap karena ada peringatan Hari Buruh. Sedang ia harus sampai bandara dengan tepat waktu. Bayang-Bayang kematian berselimut di pikirannya.
            Tiga puluh menit lagi peswat akan lepas landas. Raditya masih dalam perjalanan. Bersama dengan kepanikannya, Ia berpikir bagaimana caranya sampai bandara tepat waktu. Pucuk di cinta ulam pun tiba. Samping kanan jalan tampak barisan juru ojek motor, hingga akhirnya ia memutuskan beralih pada kendaraan roda dua. Lima belas menit perjalanan telah dilalui, tepat 20 menit dalam perjalanan. Ia sampai di bandara. Segera ia menuju pesawat yang akan menghantarkannya ke Jogja.
            Langit tampak cerah, dalam ketingian di udara ia melihat kumpulan awan. Awan itu membentuk wajah ayahnya, mungkin karena ia rindu sekali pada ayahnya. Sejenak ia melamun. Terpikir dalam benaknya memori kenangan bersama ayah, ibu dan kakak. Awan yang indah itu tampak bercahaya. Kenangan kasih cinta ibunya yang mencintai dari hati ke hati. Tak seperti kekasih yang mencintai ia dari mata ke hati. Ikhlas mendekap memberi perlindungan, ya begitu cara Hartono. Sekejap Raditya terbangun dari melamunya. Pesawat telah mendarat di bandara Adi Sutjipto.
            Berlari ia menuju pangkalan taksi. Menumpang taksi untuk membawanya menuju rumah sakit tempat ayahnya di rawat. Taksi itu berjalan melewati kota, kenangan indah bersama ayahnya mulai terusik kembali. Malioboro, kebun binatang, menjadi tempat istimewa menghabiskan waktu. Dua puluh lima menit perjalanan, taksi itu berhenti di depan lobi rumah sakit. Raditya keluar dari taksi membawa tas. Berjalan menyusuri jalan rumah sakit menuju ruang ICU tempat ayahnya berbaring. Perjumpaan itu terjadi, keharuan dan sendu menghiasi ruangan. Peluk, dekap, dari ibu dan kakaknya untuk Raditya.
            Ia menangis menyaksikan ayahnya, yang tak berdaya. Air wudhu membasuh angota tubuh. Mengambil Al-Qur’an di tasnya. Membacakan Ayat-ayat suci di samping ayahnya. Berharap ayahnya segera bangun dan memeluknya. Setelah membacakan ayat-ayat al-Qur’an, Ia membisikan kalimat untuk ayahnya “Ayah, Raditya rindu. Ayah segera bangun, mengerjakan hal yang terindah seperti masa yang dulu”. Ungkap Raditya. Hartono yang ia cintai tak kunjung bangun, sudah beberapa hari anaknya berada di sampingnya.
            Tabah, ya begitu adanya. Ananda setia di samping ayahnya, Sholat lima waktu. Melantunkan tilawah Qur’an, menjalankan tahajud. Semua itu yang diajarkan Hartono. Ayah dari Raditya di rawat oleh dokter Lidya. Setiap pagi Raditya selalu berjumpa dengan dokter muda bernama Lidya. Menanyakan perkembangan Ayahnya. Perjumpaan dengan dokter Lidya tak terasa menumbuhkan benih-benih cinta. Benih cinta itu bersemi bagai bunga-bunga di pekarangan. Dua minggu telah usai, dokter Lidya ternyata juga menaruh hati pada Raditya karena sifat setia dan sholehnya.
            Pagi itu suasana begitu bersahabat, burung-burung bernyanyi riang. Mentari tersenyum indah. Ruang ICU  merasakan kehangatan sinarnya. Tanda itu mulai muncul. Kedipan mata itu menghadirkan anugrah, membuka harapan baru. Hartono mulai terbangun dari tidurnya. Dokter Lidya segera memeriksa Hartono. Sujud syukur Hartati, Abay dan aditya atas sadarnya Ayah tercinta. Bagai kebahagiaan yang bersambut. Siang hari Raditya memberanikan diri mengungkapkan perasaan cinta kepada Lidya. Akhirnya Lidya membalas dengan senyum manisnya. Keluarga itu berselimut kasih.
Biodata Penulis

Nama               : Margono
NIM                : A310130041 (semester 2)
Mahasiswa Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Alamat email   : margonoazzaky@yahoo.co.id
No HP             : 085643364523
Alamat rumah : Tegalombo 1/5 , Prawatan, Jogonalan, Klaten.